Penulis, seorang kandidat DPhil di University of Oxford dan Direktur Centre for Interfaith and Multicultural Studies di Universitas Satya Terra Bhinneka, mengungkap dua sisi kultur guyon dalam konteks tabligh akbar dan pesantren, serta pentingnya mengenali dan tidak menormalisasi guyon problematik yang dapat melampaui batas etika dan nilai-nilai Islam.
Konteks Guyon dalam Tabligh Akbar
-
Ekspektasi Edukasional-Kultural: Tabligh akbar sering kali diharapkan tidak hanya ‘mencerahkan’ tetapi juga ‘menghibur’, terutama karena sering dilaksanakan larut malam. Sebagian pendakwah, yang turut dipengaruhi oleh kultur pesantren, menyisipkan guyonan dan joke kodian dalam ceramah untuk tetap mempertahankan minat jemaah.
-
Soft Skills dari Pesantren: Kemampuan menginkorporasi guyon dalam dakwah sering kali dikembangkan sebagai bagian dari soft skills di pesantren, di mana hal ini dianggap mekanisme berdamai dengan keadaan dan kematangan spiritual.
Problematisasi Guyon di Pesantren
-
Guyonan sebagai Bentuk Bullying: Praktik guyonan yang sebenarnya menyisipkan bullying, seperti mengejek dan menghina seseorang, terkadang dinormalisasi sebagai ‘guyonan dakwah’ atau ‘latihan mental’ di pesantren.
-
Guyonan Seksis dan Cabul: Perspektif patriarki dalam beberapa lingkungan pendidikan keislaman masih memperkuat guyonan seksis dan cabul, yang seringkali melewati batas etika dan mengandung pelecehan terhadap gender.
Tindakan Preventif
-
Peran Pengurus Pesantren: Pengurus pesantren perlu memperketat pengawasan dan mendorong transformasi akhlak, serta tidak membiarkan guyonan problematik sebagai sesuatu yang ‘benar’ atau ‘patut’.
-
Kolaborasi Eksternal: Kementerian Agama dan organisasi keislaman dapat memberikan stimulus dan memotivasi lembaga pendidikan keislaman untuk mengevaluasi nilai-nilai yang ditanamkan guna memotong mata rantai guyonan yang bersifat bullying dan cabul.
Tulisan ini mengajak untuk tetap menjaga kultur guyon namun dengan sikap moderat, menjauhi ekstremisme dalam bentuk bully dan pelecehan serta mendorong transformasi pengajaran Islam yang lebih berempati, etis, dan ‘moderat’ dalam setiap bercanda.